Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
terbitan Balai Pustaka tahun 2005, golok adalah sejenis parang atau pedang yang
berukuran pendek. Sedangkan parang sendiri adalah pisau besar namun lebih
pendek dari pedang:
Sedangkan arti golok dalam Kamus Umum
Basa Sunda oleh Lembaga Basa & Sastra Sunda (Penerbit Tarate Bandung tahun
2000), golok adalah bedog, perabot
atau alat untuk memotong.
Dalam Ensiklopedi
Sunda (Pustaka Jaya 2000) diuraikan pengertian bedog yang merupakan nama alat
tajam dari besi baja, ada yang berupa pakakas
(perkakas) dan ada yang berupa pakarang
(senjata). Bedog, baik yang berupa pakakas maupun yang berupa senjata,
dalam bahasa Indonesia disebut golok atau parang.
Dari uraian baik dalam kamus maupun
ensiklopedi pengertian golok adalah sama dengan bedog. Golok adalah istilah
atau nama dalam bahasa Indonesia untuk perkakas atau senjata tajam yang terbuat
dari besi baja, yang dalam bahasa Sunda disebut bedog.
Melengkapi pengertian golok dari
kamus dan ensiklopedi diatas, secara fisik golok (bedog
dalam bahasa sunda, bendo dalam
bahasa jawa, parang bahasa melayu) adalah nama
alat yang termasuk ke dalam perkakas dan senjata tajam, ukurannya lebih besar
dari pisau namun lebih pendek dari pedang, memiliki bilah tebal dan lebar yang
terbuat dari logam.
anatomi golok sunda
Golok
atau bedog sunda sangat beragam, karena tiap daerah di Jawa Barat memiliki
variasi bentuk tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan
karakteristik masing-masing masyarakat penggunanya. Golok (bedog) sunda umumnya
memiliki bilah dengan panjang lebih kurang 30 cm sampai dengan 40 cm, namun ada
pula bilah golok yang berukuran pendek atau kurang dari 30 cm. Golok (bedog) sunda yang
memiliki panjang bilah lebih dari 40cm disebut kolewang atau gobang.
Bagian utama dari sebuah golok
adalah bilah (wilah) dan
penamaan golok umumnya berdasarkan pada bentuk bilahnya yang terbuat dari
campuran besi dan baja. Bahan baku yang umum digunakan oleh pengrajin golok di
Jawa Barat saat ini adalah lempengan per bekas mobil. Bahan ini relatif mudah
didapat di tempat penjualan besi bekas. Per mobil bekas digunakan selain karena
lebih murah dari bahan baku yang baru, juga karena merupakan campuran besi dan
baja yang cocok untuk golok.
Bilah
golok dimulai dari buntut
atau paksi, yaitu bagian ekor pada
pangkal bilah yang dimasukkan pada pegangan golok (perah).
Badan bilah terdiri dari perut (beuteung),
yaitu bagian sisi yang tajam. Sedangkan bagian yang tumpul dinamakan punggung (tonggong). Ujung bilah golok
disebut dengan congo.
Punggung bilah golok sunda ada yang
lurus ada pula yang berpunggung melengkung atau dalam istilah sunda bentik.
Golok sunda umumnya memiliki bentuk
gagang atau perah yang melengkung dan memiliki
ujungnya berbentuk bulat (eluk). Bentuk perah yang agak miring dan
melengkung berfungsi agar golok dapat digenggam dengan kuat dan nyaman. Bentuk
ujung perah yang bulat berfungsi agar
jari kelingking terkait, menahan genggaman tangan agar tidak lepas tergelincir.
Perah
kebanyakan dibuat dari bahan kayu dan tanduk kerbau, selain itu juga digunakan
tanduk rusa dan tulang hewan sesuai dengan permintaan.
Sarung golok disebut sarangka, fungsi utamanya adalah
agar golok dapat mudah dan aman untuk dibawa, diselipkan (disoren) dipinggang. Bentuk sarangka mengikuti bentuk bilah di
dalamnya, bila bentuk bilah melengkung maka bentuk perah pun dibentuk
melengkung.
Seperti perah,
sarangka juga umumnya terbuat dari
kayu. Adapula ditemukan sarangka yang
terbuat dari kulit hewan, tetapi ini sangat jarang. Sarangka
yang dilengkapi dengan asesoris tambahan berupa gelang-gelang pengikat (simpay) yang terbuat dari tanduk
kerbau atau lembaran logam yang disebut dengan barlen. golok hambalan
Bentuk
bilah: hambalan
Material
bilah: besi per
Bentuk
perah: mantri calik
Material
perah: kayu rasamala
Material
sarangka: kayu rasamala dan kayu loka
Bentuk
simeut meuting: eluk paku
dibuat
oleh pandai besi dan maranggi di Ciwidey Jawa Barat.
Bentuk
bilah: paut nyere
Material
bilah: besi per
Bentuk
perah: soang ngejat
Material
perah: kayu rasamala
Material
sarangka: kayu rasamala dan kayu loka
Bentuk
simeut meuting: eluk paku
dibuat
oleh pandai besi dan maranggi di Ciwidey Jawa Barat.
Jenis
atau bentuk golok (bedog ) sunda
sangat beragam, karena tiap daerah di Tatar Sunda memiliki variasi bentuk
tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan karakteristik
masing-masing masyarakat penggunanya.
Di
Tatar Sunda ditemukan beberapa bentuk golok dengan nama yang sama namun
bentuknya berbeda di daerah lain, serta sebaliknya bentuk golok yang sama
tetapi memiliki sebutan nama yang berbeda di lain daerah.Pada tulisan ini nama
sebutan dan bentuk golok menggunakan data dari golok sunda yang ada di Ciwidey
Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Berdasarkan
kegunaan golok sunda dapat dibedakan menjadi dua, yaitu golok pakai/bedog gawé /pakakas, selanjutnya disebut dengan
bedog gawé, dan golok sorén/golok silat/pakarang, selanjutnya disebut golok
pakarang. Golok yang berupa pakarang digunakan untuk
beladiri/berkelahi (silat) atau setidaknya sebagai ganggaman
(pegangan) yang di-sorén dipinggang
oleh para pendekar atau jawara (Banten, Betawi), oleh karena itu selalu memakai
sarangka (sarung). Sedangkan bedog
yang berupa pakakas ada yang memakai sarangka dan ada pula yang tidak.
Bedog Gawé
Berdasarkan
fungsi dan penggunaannya bedog gawé dapat
dikelompokkan menjadi :
Bedog Daging / Dapur
Bedog Kalapa
Bedog
Pamilikan
Bedog Kebon
Bedog
Sadap
Bedog
Pamoroan
Golok Pakarang
Tidak
ada perbedaan bentuk antara wilah bedog gawe
dengan golok pakarang. Namun Golok pakarang selalu dilengkapi sarangka agar golok dapat di-soren. Golok pakarang umumnya dibuat sesuai
dengan keinginan pemesannya, dibuat lebih halus, dan dihias (diberi ukiran).
Pakarang adalah senjata-senjata yang dibuat khusus
untuk para raja dan petinggi-petinggi di lingkungan kerajaan. Dalam pembuatan pakarang tentu menggunakan bahan
terbaik dan teknik khusus. Ciri fisik dari pakarang
yang mudah terlihat adalah pamor pada bilah pakarang
seperti keris, kujang dan golok. Pamor adalah bentuk logam hasil olahan dari
pencampuran sejumlah jenis logam yang berbeda, yang ditempa dan dilipat menjadi
satu sehingga menghasilkan tekstur/pola tertentu pada permukaannya. Pakarang
yang menggunakan besi pamor akan lebih kuat dan awet karena besi hasil olahan
ini telah ’matang’ dibandingkan dengan besi/ logam biasa. Unsur estetika pada
golok pakarang lebih diperhatikan
dibandingkan dengan bedog gawe yang
lebih mengutamakan unsur fungsi. Penekanan pada unsur estetika atau ornamen
tentunya sedikit banyak mengurangi fungsionalitas golok sebagai perkakas.
Golok
pakarang berpamor tidak dijumpai
sebanyak keris dan kujang, kemungkinan bentuknya yang besar dan sederhana kalah
artistik dengan kujang dan keris, sehingga tidak banyak dibuat. Namun golok
berpamor yang disebut dengan golok sulangkar
masih dibuat dan dapat jumpai terutama
di Ciomas Banten, walaupun pembuatannya hanya setahun sekali yaitu pada tanggal
14 Maulud penanggalan Islam.
Senjata
Tradisional Jawa Barat (KUJANG)
Kujang
Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis Sunda
memiliki lambang daerah berupa gambar yang di tengahnya menampilkan senjata
tradisional yang disebut kujang. Kujang adalah senjata tradisional berupa
senjata tajam yang bentuknya menyerupai keris, parang, dengan bentuk unik
berupa tonjolan pada bagian pangkalnya, bergerigi pada salah satu sisi di
bagian tengahnya dan bentuk lengkungan pada bagian ujungnya. Bagi masyarakat
Sunda, kujang lebih umum dibandingkan dengan keris.
Kujang tidak hanya dipakai untuk lambang daerah tapi
juga dipakai untuk nama perusahaan (Pupuk Kujang, Semen Kujang), nama kampung
(Parungkujang, Cikujang, Kujangsari, Parakankujang), nama batalion (Batalyon
Kujang pada Kodam III/Siliwangi), nama tugu peringatan (Tugu Kujang di Bogor,
Tugu Kujang Bale Endah), dan lain-lain.Popularitas kujang bagi masyarakat etnis
Sunda sudah tidak disangsikan lagi. Akan tetapi, ironisnya, eksistensi kujang
baik sebagai perkakas maupun sebagai pusaka mulai sirna. Kujang kini hanya
berada di museum-museum dengan jumlah yang relatif sedikit dan dimiliki oleh
para sesepuh atau budayawan yang masih mencintai kujang sebagai pusaka
leluhurnya.Pada masyarakat etnis Sunda ada kelompok yang masih akrab dengan
kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer
Pangawinan” yang tersebar di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Kecamatan Cigudeg
Kabupaten Bogor, di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan masyarakat Sunda
Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak.Kujang (Kujang Pamangkas)
dalam lingkungan budaya mereka masih digunakan untuk upacara nyacar (menebang
pohon untuk lahan huma) setahun sekali. Sebagai patokan pelaksanaan nyacar
tersirat dalam ungkapan unggah kidang turun kujang yang artinya jika bintang
kidang (orion) muncul di ufuk timur waktu subuh, pertanda waktu nyacar telah
tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan.Bukti keberadaan
kujang diperoleh dari naskah kuno di antaranya Serat Manik Maya dengan istilah
kudi, Sanghyang Siksakandang Karesian dengan istilah kujang, dan dari berita
pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor).
Kujang adalah pusaka tradisi Sunda, sejarah yang
menceritakan awal keberadaannya masih belum terungkap. Kalau saja Kerajaan
Salakanagara yang merupakan kerajaan tertua di Jawa sebagai cikal bakal
lahirnya kujang, diyakini keberadaan kujang sudah sangat tua. Alasan tersebut
diperkuat bahwa apabila kujang yang diperkirakan sebagai alat perladangan atau
pertanian maka Kerajaan Tarumanegara pada abad IV sudah mampu menata sistem
pertanian secara baik dengan dibangunnya sistem irigasi untuk perladangan dan
pertanian, mungkin kujang sudah hadir dalam konteks perkakas perladangan atau
perkakas pertanian dalam pranata sosial budaya masyarakat pada saat itu. Kujang
diakui keberadaannya sebagai senjata khas masyarakat etnis Sunda. Kujang
merupakan warisan budaya Sunda pramodern.Kujang merupakan senjata, ajimat,
perkakas, atau benda multifungsi lainnya yang memiliki berbagai ragam bentuk
yang menarik secara visual. Kujang dengan keragaman bentuk gaya dengan
variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, pamor, dan sebagainya
sangat artistik dan menarik untuk dicermati karena struktur bentuk tersebut belum
tentu ada dalam senjata lainnya di nusantara. Kujang sebagai senjata yang
memiliki keunggulan visual tadi sekaligus mengundang pertanyaan apakah dalam
struktur estetik kujang tadi memiliki makna dan simbol? Berbagai pendapat dari
berbagai tokoh masyarakat mengarah ke sana.Kujang koleksi SumedangSejarah
kerajaan yang tumbuh di Sumedang pada masa lalu erat kaitannya dengan Kerajaan
Pajajaran. Koleksi kujang Pajajaran yang dimiliki Museum Prabu Geusan Ulun
relatif banyak bahkan mungkin paling banyak jika dibandingkan dengan
museum-museum yang ada di Jawa Barat atau Indonesia sekalipun. Kujang-kujang
tersebut beragam varian Kujang Ciung, beragam varian Kujang Naga, Kujang
Kuntul, Kujang Pamangkas, Kujang Wayang, dan sebagainya.Kujang-kujang yang
tersimpan cukup terpelihara dengan baik di mana fisik waruga, pamor, siih, dan
mata kujang masih banyak yang utuh. Bahkan, persepsi dari kebanyakan masyarakat
bahwa semua kujang berlubang terbantahkan dengan masih adanya beberapa koleksi
kujang di museum ini yang masih memiliki penutup lobang atau penutup mata.
Mungkin hilangnya penutup lobang karena penutup lobang terbuat dari bahan-bahan
yang bernilai seperti logam-logam mulia, permata, dan sejenisnya. Hilangnya pun
mungkin diambil atau jatuh akibat dari ceruk lubangnya yang korosif.Kujang
merupakan produk budaya masyarakat peladang. Penamaannya cenderung pada
makhluk-makhluk yang banyak hidup di daerah ladang seperti Kujang Ciung dari
burung Ciung, Kujang Naga dari ular, Kujang Bangkong dari kodok, Kujang Kuntul
dari burung kuntul. Bahkan, Kujang Wayang diperkirakan sebagai simbol untuk
kesuburan.Tokoh wanita pada kujang wayang mengingatkan pada simbol-simbol
kesuburan, misalnya patung purba Venus Willendorf di Eropa yang berbentuk
manusia berperawakan subur sebagai simbolisasi kesuburan. Tokoh Dewi Sri
dikenal sebagai dewi kesuburan. Mencermati secara fisik Kujang Wayang ini pun
yang tidak memiliki sisi tajam di bagian tonggong dan beuteung yang mungkin
sangat berbeda dengan kujang lainnya (kujang dua pangadekna/kujang memiliki dua
sisi yang tajam) diperkirakan untuk kepentingan upacara yang erat kaitannya
dengan kepentingan kesuburan.
Kujang yang dikenal oleh masyarakat kita pada umumnya
adalah Kujang Ciung. Pada lambang daerah, pada lambang perusahaan pupuk dan
semen, pada lambang batalion, pada tugu-tugu dan lain-lain tampak jelas
mengindikasi pada bentuk Kujang Ciung. Padahal, kujang memiliki beragam bentuk
dan nama yang menyesuaikan bentuk tersebut. Beragam bentuk dan nama
diperkirakan memiliki simbol yang dipakai dalam tatanan masa keemasan kujang
yaitu masa kerajaan Sunda Pajajaran.Istilah kujang sendiri memiliki banyak
penafsiran, salah satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata
kudi dan hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada
perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan Madu.